Sejarah

Maenpo adalah ilmu bela diri yang berasal dari Jawa Barat. Kata maenpo berasal dari istilah maen nu tara mere tempo yang berarti permainan yang tidak pernah memperlihatkan bentuknya kepada lawan. Sedangkan maenpo yang menitikberatkan pada permainan pukulan (meupeuh), dinamakan Maenpo Peupeuhan.

Maenpo diperkenalkan pertama kali pada pertengahan abad ke-19 oleh pendekar pencak yang bernama Mohammad Kosim, yang terkenal juga dengan sebutan Mama Sabandar. Beliau mengembangkan cikal-bakal teknik dan jurus dasar yang kini digunakan dalam Paguron Maenpo Peupeuhan. Tidak sedikit yang datang kepada Mama Kosim untuk diangkat menjadi murid. Namun hanya beberapa orang saja yang ia terima, karena beliau takut bela diri ini disalahgunakan.

Sepeninggal Mama Kosim, ilmu bela diri ini diteruskan oleh tokoh-tokoh maenpo, diantaranya adalah Rd. H. Enoh, Rd. H. Emod, Rd. H. Abdullah, Bapak Da’i, Rd. Thoha, Bapak Acep Tarmedi, dan Abah Salim. Para pewaris ilmu ini umumnya masih sanak saudara, kerabat dekat, dan keturunan bangsawan Cianjur.

Pada sekitar tahun 1940, Abah Salim mulai terbuka dan berani memperkenalkan beladiri ini kepada masyarakat luas. Situasi perang pada masa itu nampaknya menjadi salah satu faktor kondusif munculnya para pendekar dari berbagai aliran silat. Abah Salim merasa tertantang untuk ikut serta memperkenalkan Maenpo Peupeuhan.

Usaha tersebut kemudian diteruskan oleh putera beliau, yaitu Bapak Adung Rais pada sekitar tahun 1970. Setelah merampungkan ilmu maenpo yang ia pelajari semenjak usia 19 tahun, ia kemudian mengibarkan bendera perguruan yang ia namakan Babancong Siliwangi. Bapak Adung Rais menyumbangkan dua hal mendasar yang sangat penting pada beladiri ini, yaitu unsur kecepatan dan penyaluran tenaga melalui teknik pernafasan dalam setiap gerakan Maenpo Peupeuhan. Selain itu, ia juga membuat terobosan dengan memadukan seni pencak Maenpo Peupeuhan dengan kesenian tradisional Tembang Sunda Cianjuran yang lebih dikenal dengan nama Kacapi Suling.

Mengapa diberi nama Maenpo Peupeuhan Adung Rais? Hal ini disebabkan pada sekitar tahun 1980, Maenpo Peupeuhan yang diajarkan oleh Bapak Adung Rais (alm) unik dan berbeda dengan Maenpo Peupeuhan lainnya yang ada. Saat itu, yang menyebut dan memberi nama Maenpo Peupeuhan Adung Rais bukan dari kalangan dalam perguruan, tetapi seorang tokoh Bandung yang terkenal dalam membawa maenpo dari Cianjur ke Bandung, yaitu Gan Ema Bratakusumah.

Satu hal yang cukup banyak disalahpahami oleh banyak orang, bahwa Maenpo Peupeuhan adalah maenpo yang keras. Padahal dalam kenyataannya, pengaruh Madi dan Sabandar yang lembut sangat kental dipakai, jadi tidak hanya pengaruh Kari. Mungkin yang menyebabkan orang-orang menduga Maenpo Peupeuhan memiliki sifat keras adalah akibat pemberian latihan Napel dan Ibing yang diberikan pada akhir pelajaran.

Saat ini, Bapak Muhamad Rafijen, putera ketiga dari Bapak Adung Rais, adalah penerus aliran Maenpo Peupeuhan Adung Rais. Beliau berusaha untuk mengembangkan, dan melestarikan Maenpo Peupeuhan Adung Rais dengan memperkenalkannya ke tingkat nasional dan internasional.